Selasa, 07 September 2010

SMA OH SMA

Kali ini penulis ingin membagikan sekeping kenangan penulis saat aktif menjadi ABG Labil (SMA). Masa putih abu-abu merupakan masa transisi untuk penulis. Memilih jalan untuk menjadi manusia yang “normal” menurut orang kebanyakan atau “tidak biasa” bagi sedikit orang. Saat duduk dibangku kelas 3 penulis merasa sangat tertekan, bukan karena jurusan yang penulis dapatkan (dengan sangat kebetulan atau karena wali kelas penulis kelas 1 dendam dan menjerumuskan penulis kesana) IPA, melainkan karena teman-teman penulis yang mayoritas imbisil.
Dikelas dengan banyak orang yang pandai memainkan rumus dan berkonsentrasi layaknya para pertapa yang mengharapkan wejangan dari sang Budha, entah mengapa penulis memilih teman yang bahkan tidak sadar bahwa mata pelajaran yang akan di UAN kan berjumlah 6. Kegiatan penulis selama SMA hanyalah menertawai hal-hal yang ga penting,berkaroke ria saat guru menjelaskan, bermain kartu saat tidak ada guru,dan memparodikan hampir setiap tayangan tv, tanpa menyadari UAN hampir menyapa.
Sampai suatu hari akhirnya penulis sadar, dan ingin mencoba mengikuti bimbingan belajar yang dilaksanakan oleh alumni disekolah.
Hari itu setelah selesai mengikuti pendalaman materi, penulis merasa sangat berbeda, karena biasanya 10 menit sebelum jam PM berakhir penulis sudah merapikan semua alat-alat berperang penulis, kertas dan pensil. Di mata orang awam (guru) hal ini sangat biasa dan tidak menimbulkan kecurigaan, mengingat perlengkapan itu sangatlah diandalkan oleh para pelajar untuk mencatat ilmu yang sedang ditrasfer sang guru. Namun layaknya spongebob, selembar kertas dan pensil dapat menjadi apa saja bagi penulis (imajinasi..) sebagai sarana menggambar, bermain bola, origami, sampai saling menghina, semua hanya membutuhkan kertas dan pensil, voilaa!!
Hari ini berbeda ya cukup berbeda, setelah bel berbunyi penulis baru mulai merapikan perkakas yang ada di meja penulis, sayangnya karena teman-teman terdekat penulis di kelas tidak ada yang berminat mengikuti bimbingan 1 hari tersebut jadilah penulis mengikuti kelas itu bersama teman sekelas penulis saat kelas 1. Sialnya teman penulis yang satu ini kelakuannya lebih ajaib dibanding teman penulis yang lain. Saat penulis hendak keluar dari kelas, Kori (sebut saja) sudah tersenyum bahagia dan melambaikan tangannya di depan pintu kelas. Kori memang sangat periang, sehingga keceriannya yang overdosis kadang membuat penulis meriang. Saat melangkah keluar, Kori malah mengajak penulis untuk tetap di kelas dan menggambar-gambar di white board, karena kelas bimbingan baru dimulai 30 menit lagi. Kori mulai menggambar dengan bersemangat layaknya semangat teman-teman kita untuk menyentuh penghapus magnet di ETC. Setelah mulai bosan, Kori mengajak penulis menuju basecampnya murid perempuan, yap kamar mandi, dan dimulailah bencana itu. Dalam perjalanan ke kamar mandi kami memutuskan untuk menyalurkan bakat terpendam kami, berhubung sudah sore dan lobi sudah kosong (kelas penulis di lantai 3). Kori mulai berjalan sambil berjingkrak kecil dan saya mulai bernyanyi lagu-lagu yang sedang in saat itu. Yaa tepat sekali, kami sedang berpura-pura membuat film remaja, Kori sebagai aktris dan saya dubbing beserta back soundnya. Layaknya pembukaan film anak remaja yang bersetting disekolah dengan peran utama yang sok ceria sambil berlari kecil dan mengeluarkan kalimat andalannya ” Gue Kori.. Gue sekolah di SMA .... dsbdsb.” Hal itu terus berlanjut sampai kami tiba di kamar mandi. Saat sedang tertawa-tawa kami tidak sadar menutup pintu utama kamar mandi, yang notabene semua anak perempuan disekolah sudah tahu kalau gagang didalamnya sudah tidak ada (hanya bisa dibuka dari luar). Jeeeegeeerrr!!! Panik, hari sudah cukup gelap, hanya tinggal beberapa anak saja yang masih di sekolah, itu juga dilantai 1 soalnya mau ikut bimbingan. Tapi kepanikan hanya terjadi sekitar 2 menit, teknologi menyelamatkan kami, handphone. Namun layaknya disinetron-sinetron, ada aja masalahnya. Hari itu dengan imbisilnya Kori ngga bawa hape, hebatnya pulsa penulis pun hanya sanggup menunaikan tugas satu kali sms. Paniiiikkk !!! Akhirnya kami pun berpikir untuk menggunakan 1 kesempatan itu sebaik-baiknya. ”Sms Edo!” kata Kori. Pria dengan tampang cool-ii, digandrungi ade-ade kelas saat memarkir motor di depan masjid (selama dia ga bersuara pastinya, karena kalo sampai keluar kata-kata dari mulutnya terkuaklah karakter suara gadis cempreng yang minta dibeliin gorengan) itu memang merupakan tim inti gerombolan imbisil kami. ”Iyaiya dia pasti mau tuh balik lagi ke sekolah menyelamatkan teman-teman terkasihnya!” kata penulis semangat. ”Betul-betul, udah sms!” kata Kori menggebu-gebu. Namun saat penulis mulai mengetik sms muncul keengganan yang sangat, Kori pun terlihat berpikir. Dan tiba-tiba kami memutuskan membuang kesempatan untuk sms Edo. ”Jangan dia deh” kata Kori dengan laga sok tahu. ”Iya temen kita kan masih banyak, yang lain aja” jawab penulis. Bayangan Edo besok teriak-teriak pake toa buat ngumumin kita kejebak di kamar mandi membuat keinginan sms dia lenyap. Ditambah lagi kita suka banget ngejek korban-korban gagang pintu, kalo sampe ketauan kita juga kejebak, aawww drag me to hell.
”Beem aja gimana?” kata penulis. ”Iyaiya dia kan ada di bawah tuh ikut kelas bimbingan.” Kori menyahut. Cewek alim berjilbab dengan frekuensi suara yang hanya bisa didengar kelelawar itu memang bukan ide yang buruk. Saat sedang menggonta-ganti isi sms yang tadinya ingin dikirim ke Edo, penulis berpikir. ”Eh bimbingan kan udah mulai, ga mungkin manusia setipe Beem mau ngeliat hpnya” kata penulis.”Bener juga, dateng ke kelas aja ga pernah bersuara” kata Kori. Setelah berkutat dengan banyak nama, akhirnya terpilihlah Dila, teman kelas 2 penulis itu adalah yang paling mendekati kriteria penolong yang diinginkan penulis dan Kare(bener-bener gatau diri penulis dan Kare). Tidak terlalu membuka diri (pasti ga akan cerita-cerita kalo penulis terjebak di kamar mandi), baik, pinter, rajin buka hape yang paling penting (menurut survei penulis selama 1 tahun duduk dibelakangnya), dan suka nraktir (siapa tahu pas dia udah nyelametin penulis dan Kori dia nawarin es teh, takut kita dehidrasi kelamaan di kamar mandi). Message delivered. Great sekarang tinggal nunggu. 5 menit pertama, mungkin lagi nyatet cara yang penting jadi gabisa keluar kelas. 10 menit kedua, mungkin Dila bingung cari alesan keluar kelas. 15 menit kemudian, oke dia bukan lagi Dila yang gue kenal, dia ga baca sms kita!!! Teriak-teriak kaya orang kesurupan pun akhirnya kita lakuin, berharap ada semut merah yang nyampein suara kita ke seseorang. Nihil, bahkan ga ada 1 pembersih sekolah pun yang lewat. Akhirnya Kori mutusin untuk manjat, dan mencoba berteriak melewati ventilasi kecil diatas pintu nan laknat yang mengunci kita. Ketika hampir frustasi, tiba-tiba Kori berteriak “Ndjuu ... Ndjuu.. ada Ndjuu... Ndjuuu ini Kori di kamar mandi lantai 3, Ndjuuu.... ni liat tangan Kare niii, Ndjuuu, Kori kejebak dikamar mandiii..!! 10 menit kemudian pintu terbuka, cewek dengan tinggi semampai dengan rambur bergelombang itulah penyelamat kami. Dan itulah awal mula penulis berkenalan dengan Ndju, Juliana, atau yang lebih dikenal dengan julukan Susanna karena tampangnya yang aga horor. Akhirnya kami berdua tiba dikelas bimbingan tambahan dengan muka semerawut layaknya korban bencana semi alam yang udah ga ada niat belajar tentunya. Terakhir penulis tahu bahwa keberhasilan kami lolos dari jebakan gagang pintu adalah sebuah miracle, karena menurut Kori, biasanya Ndju sangat susah untuk mendengar (baca: bolot stadium 4 udah ga ketolong). Tapi wel Ndjuuu u are my hero!! Dan membuat penulis sadar bahwa untuk menghadapi UAN juga dibutuhkan miracle lebih dari seorang Ndju!!!!

Piss love n guilty 

2 komentar:

  1. well,apakah itu yolanda? kasian banget nama pangilannya kesebut dua kali

    BalasHapus
  2. i think i know who the writer is. hahahaha,,,

    btw gw bingung sama nih cerita, padahal cuma ada 2 orang yang terperangkap di kamar mandi tapi si penulis nyebutin 3 orang, penulis, kori dan kare.

    hmmm,,

    BalasHapus