Jumat, 27 Agustus 2010

Perkembangan Seni Karawitan Jawa di Bumi Pertiwi

setelah berlembar-lembar postingan gak penting, kali ini saya akan menerbitkan sebuah postingan yang berguna. tulisan yang saya pilih kali ini adalah tulisan yang pernah menjadi paper saya ketika dihadapkan untuk membuat tugas paper karawitan jawa. semoga paper ini berguna bagi nusa dan bangsa, serta dapat mempertebal rasa nasionalisme. hidup Indonesia, ganyang malaysia (lho)


Perkembangan Seni Karawitan Jawa di Bumi Pertiwi

Dewasa ini seni karawitan jawa sedang ”naik daun” di berbagai belahan dunia, contohnya di California (USA), Muenchen (Jerman) dan Amsterdam (Belanda). Seni yang eksotis dan ekslusif menjadi daya tari tersendiri bagi karawitan jawa untuk menarik perhatian banyak orang. Jika di Amerika Serikat semua perguruan tingginya telah membuka kelas karawitan jawa, lain halnya dengan di Muenchen. Di Muenchen setiap bulannya di gelar pentas orkestra gamelan dengan harga tiket yang mahal, meskipun begitu , tiap bulan penonton pasti memadati gedung orkestra dan tiketpun laris manis. Lebih mengherankan lagi, ternyata seluruh personilnya adalah warga negara asli Jerman. Sedangkan di Belanda , nabuh gamelan bukan lagi sekedar mencari hiburan, namun sebagai olahraga pengganti Yogya dan Taichi. Dengan melihat begitu banyaknya apresiasi yang di raih seni karawitan jawa di negeri orang menimbulkan suatu pertanyaan:” Apakah di negerinya sendiri karawitan jawa mendapat tempat yang istimewa dengan tingkat apresiasi sebesar di luar negeri?”
Sebelum membahas perkembangan seni karawitan jawa di Indonesia, akan dibahas tentang awal mula karawitan dan pengaruhnya bagi kehidupan seni dan budaya di indonesia. Gamelan Jawa merupakan seperangkat instrumen sebagai pernyataan musikal yang sering disebut dengan istilah karawitan. Karawitan berasal dari bahasa jawa rawit berarti rumit, berbelit – belit, tetapi rawit juga bararti halus, cantik, berliku-liku dan enak. Dalam mitologi Jawa, Gamelan diciptakan oleh Sang Hyang Guru pada Era Saka, Dewa yang menguasai seluruh tanah Jawa, dengan istana di gunung Mahendra di Medangkamulan (sekarang Gunung Lawu). Sang Hyang Guru pertama-tama menciptakan gong untuk memanggil para dewa, dan untuk pesan yang lebih khusus Ia kemudian menciptakan dua gong, lalu akhirnya terbentuk seperangkat Gamelan. Sebagian besar alat musik Gamelan terdiri dari alat musik perkusi yang dimainkan dengan cara dipukul atau ditabuh. Oleh sebab itu pada waktu orang memainkan alat musik Gamelan biasanya disebut “NGGAMEL”. Nggamel adalah bahasa Jawa yang berarti Memukul / Menabuh. Inilah sebenarnya asal usul kata GAMELAN (Nggamel = Gamel ditambahan akhiran –an).


Jika di telaah melalui kacamata sejarah, karawitan telah ada sebelum masuknya pengaruh India dalam seni budaya Indonesia,jadi dapat dikatakan bahwa karawitan jawa merupakan seni kebudayaan asli Indonesia selain wayang, batik, ilmu-ilmu sajak, pengerjaan logam, sistem mata uang sendiri, ilmu teknologi pelayaran, astronomi, pertanian sawah dan sistem birokrasi pemerintah yang teratur ( Dr. J.L.A. Brandes,1889). Pada candi-candi di Indonesia terpahat berbagai instrumen gamelan, antara lain ; pada beberapa bagian dinding candi Borobudur dapat 17 dilihat jenis-jenis instrumen gamelan yaitu: kendang bertali yang dikalungkan di leher, kendang berbentuk seperti periuk, siter dan kecapi, simbal, suling, saron, gambang. Pada candi Lara Jonggrang (Prambanan) dapat dilihat gambar relief kendang silindris, kendang cembung, kendang bentuk periuk, simbal (kècèr), dan suling. Gambar relief instrumen gamelan di candi-candi masa Jawa Timur dapat dijumpai pada candi Jago (abad ke -13 M) berupa alat musik petik: kecapi berleher panjang dan celempung. Sedangkan pada candi Ngrimbi (abad ke – 13 M) ada relief reyong (dua buah bonang pencon). Sementara itu relief gong besar dijumpai di candi Kedaton (abad ke-14 M), dan kendang silindris di candi Tegawangi (abad ke-14 M). Jelas terlihat bahwa karawitan sangat populer dan berpengaruh pada masa lampau.
Dahulu pemilikan gamelan ageng Jawa hanya terbatas untuk kalangan istana. Kini siapapun yang berminat dapat memilikinya sepanjang bukan gamelan-gamelan Jawa yang termasuk kategori pusaka (Timbul Haryono, 2001). Secara filosofis gamelan jawa merupakan satu bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Jawa. Hal demikian disebabkan filsafat hidup masyarakat Jawa berkaitan dengan seni budayanya yang berupa gamelan Jawa serta berhubungan dekat dengan perkembangan religi yang dianutnya. Bagi masyarakat Jawa gamelan mempunyai fungsi estetika yang berkaitan dengan nilai-nilai sosial, moral dan spiritual. Kita harus bangga memiliki alat kesenian tradisional gamelan. Keagungan gamelan sudah jelas ada. Duniapun mengakui bahwa gamelan adalah alat musik tradisional timur yang dapat mengimbangi alat musik barat yang serba besar. Di dalam suasana bagaimanapun suara gamelan mendapat tempat di hati masyarakat. Gamelan dapat digunakan untuk mendidik rasa keindahan seseorang. Orang yang biasa berkecimpung dalam dunia karawitan, rasa kesetiakawanan tumbuh, tegur sapa halus, tingkah laku sopan. Semua itu karena jiwa seseorang menjadi sehalus gendhing-gendhing (Trimanto, 1984). Gamelan dibunyikan atau digunakan untuk mengiringi pergelaran wayang, mengiringi tari-tarian, mengiringi upacara sekaten, upacara kenegaraan/keagamaan, mengiringi klenengan untuk hal-hal tertentu (upacara nikah, ngundhuh mantu dan lain-lain).
Seni karawitan (musik pentatonis) mendapatkan kedudukan yang istimewa di dunia seni pertunjukan Indonesia. Tentu saja, pernyataan ini tidak sekedar pujian atau basi-basi tanpa alasan. Di Surakarta dan Yogyakarta (eks ibukota kerajaan) yang hingga sekarang menjadi pusat budaya (kesenian), seni karawitan dapat berkembang bebas, baik di lingkungan njeron beteng (kraton) maupun luar kraton. Hampir setiap kelurahan di Yogyakarta memiliki seperangkat gamelan (alat musik Jawa), bahkan ada yang lebih dari satu unit. Belum lagi gamelan milik personal, baik dari kalangan bangsawan kraton, seniman maupun masyarakat biasa. Di sela-sela kesibukan masyarakat, dapat dipastikan ada aktivitas nabuh gamelan yang dilakukan rutin berkala. Ada kelompok yang beranggotakan pria dewasa, wanita dewasa, remaja serta anak-anak.
Indonesia pernah memiliki tujuh (7) SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia), lembaha pendidikan formal sederajad SMA, sebagai tempat mempelajari karawitan secara intens bagi anak usia remaja. Di tingkat perguruan tinggi,masih ada beberapa institut seni yang tetap berkibar dan memiliki ribuan mahasiswa program studi karawitan. Hasil dari kedua jenjang pendidikan formal tersebut tentu saja profesional-profesional muda di bidang seni pertunjukan (karawitan). Namun belakangan ini minat pemuda untuk masuk Sekolah Menengah Karawitan Indonesia semakin berkurang,bahkan jumlah siswa yang mendaftar tidak memenuhi kouta. Hal itu sangat ironis mengingat ahli-ahli di bidang karawitan yang akan dihasilkan menjadi semakin berkurang, sedangkan di belahan dunia lain karawitan jawa mengalami perkembangan yang pesat. Seiring dengan di bukanya kelas-kelas karawitan di perguruan tinggi di USA, maka di perlukan juga banyak tenaga pelajar yang merupakan seniman profesional berijazah di bidang karawitan. Sungguh menyedihkan jika seni karawitan jawa, yang notabene merupakan hasil budaya Indonesia kekurangan tenaga pengajar sehingga memakai orang asing sebagai pengajarnya.
Harus diakui bahwa ada perasaan iri ketika menyadari kemapanan masa depan seni karawitan lebih menjanjikan di belahan benua lain. Bahkan kadang muncul pernyataan mereka telah mencuri warisan budaya bangsa kita. Kenyataanya tidak harus menyalahkan negara lain, hal itu terjadi karena kita acuh tak acuh terhadap hasil kebudayaan sendiri. Mental nasionalisme bangsa kita seperti butuh ”pemacu” untuk kembali menumbuhkan semangat cinta budaya sendiri.

Sebagai pemilik, masyarakat kita ternyata cenderung menempatkan karawitan sebagai sesuatu yang eksklusif. Sudah bukan hal yang langka apabila hampir semua bangunan joglo dilengkapi dengan seperangkat gamelan yang tertata apik di salah satu sudutnya. Jika ada yang hendak mencoba nabuh, belum tentu diizinkan. Ada beribu alasan untuk menjadikan gamelan layakya benda keramat bertuah, sehingga tidak sembarang tangan boleh menyentuh. Bilapun mendapat izin, si pemilik akan lebih dulu menyampaikan peringatan-peringatan “menakutkan” dengan suara ketus dan sorot mata tajam. Mungkin hal tersebut yang membuat masyarakat enggan untuk belajar karawitan.
Selain masalah sugesti dan pandangan mistik masyarakat Indonesia terhadap penggunaan gamelan jawa, hal lain yang turut menghambat perkembangan karawitan jawa di negeri sendiri adalah karena adanya masalah kurikulum pada pendidikan formal seni karawitan. Pendidikan formal seni karawitan sangat mengutamakan usaha agar menghasilkan lulusan berkualitas pada aspek skill. Terbukti bahwa untuk menemukan sarjana seni yang terampil memainkan semua alat musik bukanlah hal yang sulit. Namun tampaknya untuk menemukan sarjana seni yang mampu men-transfer ilmunya kepada orang lain adalah perkara sulit. Jangankan mengajarkan kepada orang lain, untuk memahami sendiri, ketika masih sekolah mereka sangat kesulitan. Pembelajaran seni (karawitan) yang konservatif, tidak mempertimbangkan aspek psikologis, dan menitikberatkan kesenimanan, adalah kelalaian terhadap proses pelestarian seni karawitan jawa. Serta anggapan karawitan adalah seni budaya yang kuno dan tidak mengikuti perkembangan zaman turut menjadikan karawitan jawa budaya yang terdengar membosankan bagi generasi muda. Keberadaan seni karawitan di luar pulau Jawa memang tidak sepopuler seperti di daerah Surakarta dan Yogjakarta.
Sebaiknya dunia pendidikan formal sudah harus menyiapkan sarjana-sarjana yang memiliki spesifikasi sebagai pendidik, pengaji,kritisi, dan pengelola, selain praktisi seni pertunjukan (karawitan). Mereka inilah yang nantinya akan bersinergi sebagai agen budaya dalam rangka menciptakan iklim kondusif untuk kelangsungan hidup seni karawitan di “rumah sendiri” sarjana yang memiliki spesifikasi sebagai pendidik, pengaji,kritisi, dan pengelola, selain praktisi seni pertunjukan (karawitan). Mereka inilah yang nantinya akan bersinergi sebagai agen budaya dalam rangka menciptakan iklim kondusif untuk kelangsungan hidup seni karawitan di “rumah sendiri”.


Seni gamelan jawa mengandung nilai-nilai historis dan filsofis bagi bangsa Indonesia. Dikatakan demikian sebab gamelan jawa merupakan salah satu seni budaya yang diwariskan oleh para pendahulu dan sampai sekarang masih banyak digemari serta ditekuni. Secara Hipotesis, masyarakat Jawa sebelum adanya pengaruh Hindu telah mengenal sepuluh keahlian, diantaranya adalah wayang dan gamelan. Sebagai ”ahli waris” seni karawitan jawa sudah seharusnya masyarakat Indonesia menghargai,melestarikan dan mencintai kebudayaan bangsanya sendiri sebelum adanya ”klaim-klaim” lain dari negara tetangga dan barulah mata kita terbuka dan menyadari betapa indahnya budaya Indonesia. Ternyata benar kata pepatah ”kita tidak akan menyadari betapa berharganya sesuatu jika kita tidak kehilangannya”.

2 komentar: